Bagaimana anak-anak bertemu ibunya?

Bagaimana anak-anak bertemu ibunya?

Setelah ayah mereka dibebaskan pada tahun 1978, anak-anaknya mulai memahami dengan lebih baik mengapa ibu mereka tidak dapat pulang ke rumah. Bahkan ayahnya ada di penjara.
Saat itu, anak bungsunya, Maya, sudah duduk di bangku SMA. “Bagaimana kabarmu sebenarnya, Bu?”

Supriyo, kelahiran 1920, kemudian menjelaskan, apa yang mereka alami karena dicap PKI. “Tapi kamu tidak tahu dimana ibu berada,” kata Santi.
Baru setelah Francisca meninggalkan Tiongkok dan mulai tinggal di Belanda pada tahun 1985, anak-anaknya mendapat konfirmasi kabar tersebut dari ibu mereka.
Informasi tersebut kppnliwa.org didapat dari keluarga ibunya yang sebelumnya tinggal di negara tersebut. “Kalau ibunya di China, kita tidak tahu,” aku Santi.
Di sinilah interaksi ibu dan anak mulai berkembang melalui surat menyurat. “Kami juga mengirimkan foto-foto lainnya.”

Pada tahun 1993, Maya melakukan perjalanan ke Belanda untuk menemui ibunya untuk pertama kalinya sejak kerusuhan tahun 1965.
Diakui Maya, suasana pertemuan itu “sedikit mencekam”. “Umurku 35 dan punya tiga anak, jadi beda,” Maya tertawa.
“Ibuku menangis, sedih… Aku juga diculik, tersesat,” tambahnya. Namun keadaan pengasingan yang melekat pada ibunya membuat pertemuannya menjadi tidak terlalu bebas. Keluarganya di Belanda juga menyarankan agar pertemuannya “tidak terlalu panas”.

“Aku tidak bisa berlama-lama dengan ibu. Kami hanya bertemu di kafe atau datang ke rumahnya, tapi tidak bermalam,” kata Maya.
Baru setelah Reformasi tahun 1998 dan setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengajak para pengungsi untuk pulang, anak-anak mereka bisa melihat ibunya dengan leluasa.
Pada tahun 2003, Francisca akhirnya bisa kembali ke Indonesia, sebuah keinginan yang tak tertahankan setelah tertunda lebih dari 35 tahun.
“Aku sangat merindukannya,” kata Santi. “Kami hanya bisa menangis dan berpelukan,” kata Nusa yang kemudian bermalam di rumah anak-anaknya.
Seperti yang dialami Maya yang mengaku “sedikit kaku” saat pertama kali memeluk ibunya pada tahun 1993, anak-anaknya yang lain juga merasakan hal yang sama.
“Nggak sama kalau ketemu terus. Ada gap di antara kita. Ewuh pakewuh,” aku Nusa. Santi pun mengaku “ada kekakuannya”.

Di hadapan anak-anaknya, sang ibu kemudian menjelaskan lebih detail mengapa ia tidak bisa pulang ke rumah pasca G30S. “Mama bercerita sambil menangis,” kata Maya.
Di sini anak-anaknya semakin memahami penderitaan Francesca saat dia diasingkan dari tanah kelahirannya dan tidak bisa bertemu anak-anaknya selama puluhan tahun. “Kami bangga dengan ibu kami, ini adalah sebuah perjuangan.”

Sembilan tahun setelah Reformasi 1998, terbitlah memoar Francisca Fanggidei yang ditulis oleh mantan tahanan politik berusia 65 tahun, Hersri Setiawan.
Anak-anak Francesca kemudian semakin mengetahui peran ibunya sebagai pejuang pada masa revolusi kemerdekaan berkat buku berjudul Memorie di una donna riovolutionria. Nusa, Santi dan Maya tak bisa menyembunyikan rasa “bangga” mereka atas apa yang telah dilakukan ibu mereka selama ini dan setelahnya. “Ibuku adalah seorang pejuang,” kata mereka.
“Karena jumlah penduduk Indonesia yang ratusan juta, belum tentu seperti itu,” kata Nusa.
Ia mencontohkan kehadiran ibunya di Konferensi Kalkuta untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan mencari dukungan internasional.

Kini, setelah ibu mereka meninggal di usia 88 tahun pada 13 November 2013 dan dimakamkan di Belanda, anak-anak mereka berharap sejarah bisa menunjukkan ibu mereka dengan lebih adil.