Sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2008 perihal Partai Politik, di dalam Pasal 11 partai politik punya fungsi sebagai layanan pendidikan politik, agregasi kepentingan masyarakat, pendidikan politik dan rekruitmen untuk isi jabatan politik. Parpol punya peran terlalu strategis pilih nasib bangsa ini kedepan, dikarenakan partai politiklah hanya satu lembaga yang diamanatkan oleh UU untuk melaksanakan seleksi kepemimpinan baik itu capres, caleg, maupun calon kepada daerah.
Sayangnya UU No. 2 th. 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011 tidak mengatur secara teliti bagaimana mekanisme parpol menseleksi kadernya untuk menjadi calon pemimpin. Sepertinya sesungguhnya sengaja dibikin begitu aturannya terlalu longgar, Pasal 29 hanya berbunyi “rekruitmen dijalankan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis dan terbuka sesuai bersama AD dan ART dan terhitung ketetapan perundang-undangan”, tidak ada kembali penjelasan, ketetapan pemerintah atau permendagri yang menjelaskan kata “demokratis” tersebut. Hal ini menurut saya berjalan kekaburan norma, Pasal 29 ini terlalu tidak sadar bagi mana standar makna demokratis selanjutnya atau bagimana mekanisme seleksi yang sanggup membuahkan calon pemimpin yang berintegritas.
Hasil berasal dari kekaburan norma tersebut, suasana lembaga politik kami terlalu memprihatinkan, mari kami cek hasil-hasil survey perihal partai politik, politisi dan lembaga DPR 5th terakhir. Survei LIPI 2018: DPR dan Parpol menjadi Lembaga Bercitra Negatif (cnnindonesia.com), Survei LSI 2021 soal Kepercayaan Public: DPR dan Parpol Urutan Paling Buncit (tempo.co), Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) 2021: Tingkat Kepercayaan terhadap DPR dan parpol Terendah (republika.co.id). dan masih banyak survei lainnya yang perlihatkan tidak baik dan lemahnya kinerja legislative.
Berdasarkan hasil survei tersebut, menuju 2024 sudah selayaknya parpol berbenah, jangan kembali mengfungsikan pola-pola lama, parpol hanya dikuasai segelintir elit (oligarki) yang mendewakan syahwat kekuasaan duniawi semata. Kalo bahagia bangsa ini maju maka yang wajib dibenahi pertama kali adalah mutu partai politiknya. Cara merubahnya adalah bersama merivisi UU parpol itu sendiri, wabil tertentu pasal tentang proses seleksi kepemimpinan.
Sekarang anda bayangkan, tugas anggota DPR itu terlalu siasat tetapi terhitung terlalu berat: pertama legislatif drafting atau membawa dampak regulasi yang mengatur hajat hidup suluruh bangsa, controling atau mengawasi tugas-tugas pemerintah dan terakhir budgeting atau menyusun anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Lantas, apakah tugas berat itu pantas diisi oleh politisi karbitan? tanpa kaderisasi yang jelas, miskin ilmu, tanpa pengalaman dan hanya mengandalkan popularitas? Mati konyol bangsa ini kalo begini terus. Di level daerah mirip saja, seleksi untuk menjadi caleg dan cakada di tingkat parpol terlalu tertutup, elitis, tidak demokratis dan rawan money politik. Politisi lompat sana sini, saat sudah duduk, jangan berkreasi tupoksinya saja tidak mengerti.
Sebagai contoh, menyaksikan bagimana putusan MK perihal uji UU Cipta Kerja hasil kerja DPR, MK perlihatkan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil dikarenakan dibikin bersama “ugal-ugalan” dan bertentangan bersama asas-asas pembentukan ketetapan perundang-undangan. UU perihal KPK terhitung kontroversial, UU KUHP tidak kunjung selesai dan masih banyak kembali lainnya.
Melihat praktik legislative drafting selanjutnya saya cobalah beri tambahan teori efektifitas hukum berasal dari Lawrence M Friedman yang perlihatkan bahwa sukses tidaknya penegakan hukum bergantung tiga unsur system hukum; susunan of law, substance of law dan legal culture. Saya idamkan beri tambahan satu unsur kembali yaitu wise/integrity law maker, artinya hukum wajib dibikin oleh orang/wakil rakyat yang arif dan bijaksana.
Saya wajib ingatka kembali bangsa ini, baca pelan-pelan dan pahami bunyi sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan di dalam permusyawaratan/perwakilan”. Para founding father bangsa ini sudah terlalu akurat menyusun konsep demokrasi Pancasila, makna berasal dari sila ke-4 selanjutnya menurut saya adalah yang layak mewakili rakyat untuk duduk di DPR adalah orang yang hikmat/arif dan bijaksana, bukan hanya sebatas mendapat suara terbanyak di dalam pemilu. Pemimpin yang punya hikmat kebijaksanaanlah yang sanggup mempunyai bangsa ini sejahtera, dan sebaliknya pemimpin yang tidak arif dan bijaksana tidak layak memimpin dan hanya akan mempunyai bangsa ini kekubang kesesatan.
Ada dua langkah untuk beroleh orang yang ber“hikmat kebijaksanaan”, pertama orang alim yang punya tingkat ketakwaan yang tinggi, dan ke-2 orang berilmu yang menguasai secara mendalam pengetahuan pengetahuan yang luhur. Pemimpin yang punya pembawaan hikmat kebijaksanaan mewujud di dalam sikap kejujuran, mencintai keadilan dan kemanusiaan dan terhitung kesejahteraan rakyat sebagai nilai ideal yang diperjuangkan melalui system permusyawaratan perwakilan, bukan permusyawaratan yang dibangun atas nama oligarki dan ketidakjujuran.
Socrates seorang filsuf hukum alam yang tekankan nilai-nilai moralitas yang mengajarkan natural law thinking, sudah mengingatkan kami bahwa pemimpin yang baik adalah yang bijaksana dan ikhlas bukan mengejar duit ataupun kehormatan. Sedangkan Plato tekankan bahwa hanya orang yang sadar nilai keadilanlah yang layak memimpin pemerintahan.
Berdasarkan makna sila ke-4 Pancasila diatas, maka sudah selayaknya partai politik menjadi gardater depan untuk menseleksi kader yang punya kualifikasi arif dan bijaksana, caranya menjadi bersama merevisi UU No. 2 Tahun 2011 memasukkan system intergritas partai politik (SIPP) dan terhitung merivisi pasal 29 bersama membawa dampak ketetapan yang teliti persyaratan orang yang layak duduk di DPR.
Contohnya sederhana saya bandingkan bersama tes masuk akpol,dimulai bersama tes administrative, tes potensi akademik, tes psikotes, tes fisik, tes kesehatan, tes wawancara dllnya, tesnya terlalu kompetitif. Maka yang lolos sebagai taruna adalah orang bersama fisik kuat, punya jiwa psikologi pemimpin, intelejensia tinggi dan terhitung sehat jasmani dan rohani. Bila tes menjadi taruna sedemikian ketat, maka selayaknya seleksi menjadi caleg/calon pemimpin wajib lebih selektif dikarenakan tugasnya terlalu berat ya itu menggerakkan 3 fungsi DPR controlling, legislative drafting dan budgeting, jangan sampai hanya modal popularitas dan isi tas lalu menjadi caleg.
Wahai politisi di senayan dan pengurus partai politik, kami rakyat punya hak untuk beroleh caleg-caleg dan cakada slot gacor hari ini yang berintegritas! Bila di dalam hukum internasional (International Covenant on Civil and Political Right), hak politik hanya seputar hak pilih dan dipilih di dalam pemilu, hari ini menyambut pemilu 2024 saya mendeklarasikan hak asasi baru, yaitu hak rakyat untuk beroleh calon pemimpin (caleg & cakada) hasil seleksi parpol, yang berhikmat kebijaksanaan berdasarkan Pancasila.